Cuaca biasanya menjadi penentu utama akan bagus atau tidaknya hasil sebuah foto. Karena cuaca yang kurang baik alias mendung, kami batal mampir ke air terjun Madakaripura. Kami pun kemudian beristirahat di Bromo sebelum melanjutkan perjalanan ke area Batu, Malang. Bagi sebagian banyak orang, termasuk mungkin kamu yang sedang membaca cerita ini, Bromo mungkin sudah bukan hal yang “wah” lagi. Sudah pasaran, mungkin seperti itu istilahnya. Begitu pun dengan kami. Ini bukan kunjungan kami yang pertama di Bromo. Ko Agus pernah ke Bromo beberapa kali sebelumnya. Saya pun dulu pernah ke sana sekali ketika baru saja selesai tugas di Indonesia Mengajar.
Saya yakin, Bromo buat kebanyakan orang yang pernah berkunjung ke sana identik dengan beberapa hal ini: menyaksikan matahari terbit di Pananjakan, padang pasir, kawah Gunung Bromo itu sendiri, bukit teletubbies, pasir berbisik, atau mungkin kuda. Ya, saya tak memungkiri memang itu adalah daya tarik utama dari Bromo. Tapi, Bromo tak melulu hanya soal hal-hal tadi. Saya pun tidak akan berpikir seperti itu seandainya cuaca hari itu baik-baik saja. Setelah dari Taman Nasional Baluran, kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan Kawah Ijen. Sekitar tengah hari kami tiba di Arabica, homestay tempat kami menginap. Hanya ada sedikit pilihan tempat menginap bila hendak ke Kawah Ijen. Salah satunya adalah Arabica homestay. Arabica memiliki beberapa jenis kamar, mulai dari yang seperti asrama untuk backpacker hingga yang memiliki bathtub di kamar mandinya.
Keesokan harinya, kami bangun lebih awal untuk hunting foto di jalur birdwatching yang sudah tersedia, tidak jauh dari penginapan kami di Pantai Bama. Banyak bunyi burung terdengar di kejauhan. Kami pun terus mengikuti jalur ke arah dalam. Kami melihat beberapa burung rangkong di puncak pepohonan. Ada yang sendiri di satu pohon, ada juga yang berkerumun di pohon yang sama. Untuk beberapa saat, rasanya saya terkesima dengan pemandangan tersebut, sampai-sampai saya lupa akan kehadiran nyamuk-nyamuk ganas yang sedari tadi mengikuti dan berusaha minum darah kami. Hehe...
“Welcome to Baluran. Complete your adventure.”
Spanduk ini menyambut kami di loket pembelian tiket. Kami sudah tidak sabar melihat seperti apa isi Taman Nasional Baluran yang disebut-sebut sebagai Africa van Java ini. Saat itu sudah pukul sebelas malam. Alarm saya berbunyi keras. Rasanya mata ini sulit sekali dibuka. Malam itu terasa dingin. Begitu dinginnya hingga saya hanya bisa meringkuk di dalam sleeping bag. Kaki masih terasa kaku dan pegal karena perjalanan dari Ranu Kumbolo ke Kalimati. Tapi sebentar lagi saya dan Edhy harus siap-siap untuk melakukan summit attack. Summit attack adalah istilah yang digunakan para pendaki untuk melakukan pendakian akhir hingga sampai di titik puncak.
Saya mendengar alarm yang dipasang oleh Ko Agus semalam tadi. Tapi rasanya badan masih lelah dan tidak mau keluar dari sleeping bag. Edhy sih tidak terganggu sama sekali dengan suara alarm. Ia masih pulas. Ko Agus yang pertama keluar lalu mengecek keadaan apakah mentari pagi sudah mau terbit atau belum. Ternyata belum, jadi ia masuk lagi ke dalam tenda.
Siapa yang belum pernah dengar Semeru? Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Puncaknya yang bernama Mahameru mencapai 3676 mdpl (meter di atas permukaan laut). Kali ini, tujuan kami cuma satu, mengabadikan matahari terbit dari puncak Semeru. Namun, perjalanan menuju Puncak Mahameru bukanlah perkara mudah. Saya akan ceritakan pengalaman kami di sini. Percayakah kalian bila saya bilang bahwa saya belum pernah naik gunung sebelumnya? Saya tinggal di Bogor, jangankan Gunung Salak atau Gunung Gede, satu-satunya kegiatan trekking yang pernah saya lakukan adalah fun trekking di kebun teh Puncak. Itu pun sudah lama sekali, ketika saya masih SMP…. Bagaimana dengan yang lain? Ko Agus mungkin punya pengalaman naik gunung, itu oun sudah lama sekali dan ia belum pernah naik gunung setinggi Semeru. Usianya bahkan sudah di atas kepala empat sekarang. Edhy? Hmmm, saya kurang yakin dengan Edhy, olahraga yang biasa ia lakukan hanya olahraga mata dan jari (baca: membaca & main game). Kami, tiga orang awam, berambisi untuk bisa sampai ke Puncak Mahameru dalam pendakian pertama kami. Terdengar nekat atau bodoh? Mungkin. Berambisi? Tentu! Kami bertiga bahkan tidak ada yang punya sepatu gunung, khususnya yang menutup mata kaki. Namun masalah ini dapat diatasi dengan cara menyewanya khusus untuk pendakian ini.
Malang! Bukan “malang” dalam bentuk kata kerja, tapi “Malang” nama kota di Jawa Timur. Perjalanan dari Pantai Klayar ke Malang cukup menguras tenaga. Kami baru tiba di Malang pukul setengah dua dini hari. Untuk yang senang jalan-jalan, pasti setuju dengan pernyataan bahwa memiliki banyak teman di berbagai daerah akan membuat perjalanan menjadi jauh lebih mudah dan murah. Begitu pula dengan kami.
|
Archives
July 2016
Categories
All
|