Dalam perjalanan panjang ini, destinasi pertama kami adalah daerah Pangandaran. Dua belas jam ditempuh dari kampung halaman (Bogor), kami pun tiba di Pangandaran pada sore hari. Terlalu lama memang, ini karena seharusnya tujuan pertama kami adalah Curug Dengdeng. Sayangnya, kami nyasar dan tidak berhasil menemukan Curug Dengdeng tersebut! Jadi, tidak banyak yang bisa dilakukan di hari pertama ini selain istirahat. Esok paginya kami berkenalan dengan sepasang kekasih dari Jerman (Marius & Nadine) serta dua mahasiswi (maaf, kami lupa namanya) dari salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Kami semua tamu yang menginap di penginapan yang sama dan tentu sama-sama ingin berwisata dengan murah di Pangandaran. Terima kasih untuk pemilik penginapan yang memfasilitasi semua kebutuhan kami tersebut. Prinsip ekonomi dasar “makin banyak, makin murah” tentu berlaku juga di sini. Jadi, dalam satu hari ini, kami semua sepakat akan bersama-sama mengunjungi Sungai Citumang, Cukang Taneuh (Green Canyon), dan Pantai Batu Hiu sekaligus. Teman baru dan pengalaman baru. Kami tidak sabar untuk segera beranjak dari penginapan. Tujuan pertama adalah Sungai Citumang. Sungai? Apa sih yang bisa kita lakukan di sungai? Rafting? Tepat. Di Sungai Citumang ini yang bisa kita lakukan adalah versi rafting yang lain, yakni body rafting. Dengan menggunakan sepeda motor sewaan, kami menuju Citumang melewati jalan-jalan kecil pedesaan. Melihat aktivitas pada pagi hari di pedesaan sungguh melupakan setiap hiruk pikuk yang biasa kami temui di kota. Tidak sabar rasanya untuk segera menikmati petualangan di alam Pangandaran. Tak berapa lama, kami pun tiba di Sungai Citumang. Jujur saja, nama Citumang cukup asing di benakku. Sebagai pembukaan dalam perjalanan panjang ini, kami belajar untuk merendahkan ekspektasi-ku. Atau yang biasa kami dengar dengan “manajemen ekspektasi”. Benar saja, ketika tiba di lokasi ternyata sudah ramai bertebaran warung-warung makanan dan minuman yang juga menyediakan jasa sewa jaket pelampung. Jaket pelampung untuk kami sudah disiapkan dan kami bergegas memakainya. Saya pribadi tidak menggunakannya karena terpengaruh oleh pemandu yang bilang bahwa kalau bisa berenang maka tidak perlu pakai pelampung supaya lebih seru. Kata-katanya memang ada benarnya, akan tetapi saya perlu jujur di sini bahwa meskipun memiliki hobi berenang, saya sendiri akhirnya kelelahan sehingga beberapa kali harus “menumpang” pada teman yang menggunakan jaket pelampung. Kami mulai berjalan masuk ke arah hulu Sungai Citumang. Sangat menyenangkan meskipun ada beberapa titik yang licin dan memang kita harus berhati-hati dalam melangkah. Kami pun diajak masuk ke bagian yang lebih dalam dan sepi pengunjung di mana kami bisa bermain lompat dari atas batu ke air. Menyenangkan bisa kembali menjadi seperti anak kecil di tempat ini, melompat dengan gembira ke dalam air sungai yang jernih. Bahkan, saking excited-nya, salah satu mahasiswi tadi dengan berani ikut melompat. Namun, butuh waktu beberapa saat hingga ia mendadak tersadar bahwa iPod touch miliknya ternyata belum dikeluarkan dari saku celananya. Setelah itu, ternyata masih ada lagi tempat yang cocok digunakan untuk menguji nyali. Ada lokasi untuk melompat ke air dari tempat yang lebih tinggi lagi. Saya kurang tahu pastinya, tapi dari foto di bawah ini, rasanya kita semua sepakat bahwa itu lumayan tinggi sehingga tidak semua orang berani untuk mencoba melompat dari sana. Untuk naiknya saja, kita harus memanjat dari akar-akar pohon yang terjuntai. Akhirnya hanya saya, Marius, dan sang pemandu yang akan melompat dari atas. Memanjat akar pohon ini tidaklah sulit. Akan tetapi, sesampainya di atas, raut muka saya dan Marius berubah. Ini lebih tinggi dari yang saya bayangkan sebelumnya! Tidak ada pilihan selain melompat. Turun kembali lewat akar pohon tentu jauh lebih berisiko dibanding dengan lompat ke bawah. Maka setelah si pemandu melompat dan menunjukkan lokasi yang aman untuk mendarat, tibalah giliran saya. Saya pun mengumpulkan keberanian saya. Butuh waktu sejenak hingga akhirnya tubuh saya memutuskan untuk bergerak maju lalu melompat. *hening* Ada momen yang sulit diceritakan ketika tubuh terlepas dari pijakan dan melayang sesaat sebelum menyentuh air. Momen yang membuatku sedemikian fokus hanya pada diriku sendiri. Saat itu, detak jantung meningkat drastis. Adrenalin mengalir deras. Saya menikmati setiap mili detik ketika tubuh melayang di udara. Rasanya begitu lambat. Bahkan di sekeliling terasa begitu senyap karena telinga saya seperti tidak mendengar suara apa pun. Fokus saya saat itu hanya pada posisi pendaratan. Beberapa saat kemudian, saya tiba-tiba tersadar bahwa saya melompat terlalu jauh dan itu berbahaya. Tetapi, tidak ada yang bisa saya lakukan lagi. Maka saya pasrah dan membiarkan adrenalin tetap terpompa. Akhirnya telinga saya baru kembali mendengar suara ketika tubuh ini bertemu dengan permukaan air. Ah, sensasi yang sangat menyenangkan! Baiklah, cukup untuk uji adrenalinnya. Setelah itu, barulah kita melakukan body rafting menyusuri Sungai Citumang dengan rileks. Ada beberapa titik yang tidak kalah seru, seperti menyusuri goa kecil di bawah air terjun, melompat (lagi) dengan tali, hingga membiarkan diri hanyut dalam jeram. Begitu banyak hal yang bisa dilakukan dibanding sekadar membiarkan diri hanyut dalam aliran sungai.Terdengar menyenangkan? Tentu. Bahkan jauh lebih menyenangkan ketika merasakan sensasinya secara langsung. Sungai yang jernih, pepohonan yang asri, serta aliran sungai yang bersahabat. Sebagai body rafting yang pertama dalam pengalaman kami, Sungai Citumang sukses memberikan impresi yang luar biasa berkesan. Berdasar penilaian kami, Sungai Citumang ini tergolong asri. Namun, kalau tidak dijaga bersama, dapat dipastikan kita akan kembali kehilangan satu objek wisata lagi hanya karena ketidakpedulian kita sendiri. Ijinkan kami untuk mengingatkan agar selalu menjaga kondisi lingkungan di setiap tempat wisata yang kalian kunjungi. Prinsipnya mudah saja: “kalau tidak bisa membantu membersihkan, paling tidak, jangan memperparah keadaan.” (NE)
|
Archives
July 2016
Categories
All
|