Setelah berpuas diri menyusuri Sungai Citumang, masih ada dua objek wisata lain untuk dikunjungi dalam sehari ini, Cukang Taneuh dan Pantai Batu Hiu. Saat itu sudah lewat dari tengah hari. Selesai mengisi kembali asupan kalori yang dibutuhkan, kami bergegas menuju Cukang Taneuh. Perjalanan menuju Cukang Taneuh tak seperti perjalanan tadi pagi yang melewati jalan pedesaan. Kami harus melewati jalan utama yang kondisinya cukup memprihatinkan karena penuh lubang dan berdebu. Tidak apa. No pain, no gain. Hampir sejam kemudian, kami pun tiba di Cukang Taneuh. Oh ya, dalam cerita ini saya sengaja menggunakan Cukang Taneuh daripada Green Canyon. Kalau tempat lain seperti Raja Ampat tidak perlu istilah asing untuk menjadi populer, kenapa Cukang Taneuh tidak bisa? Sedikit informasi, Cukang Taneuh berasal dari bahasa Sunda yang artinya Jembatan Tanah. Arti kata Green Canyon jauh sekali dari Jembatan Tanah tersebut. Kata orang, Green Canyon digunakan untuk menggambarkan keadaan airnya yang berwarna hijau di antara tebing-tebing tinggi dengan pepohonan hijau di atasnya. Padahal, keadaan air yang berwarna hijau ini hanya bisa ditemukan saat musim kemarau di mana arus airnya tenang. Ketika musim hujan tiba, air akan berubah keruh menjadi coklat dan istilah Green Canyon menjadi tidak relevan lagi untuk digunakan. Untuk mencapai Cukang Taneuh, kita harus menggunakan perahu bermesin tempel dengan penyeimbang di kedua sisinya. Saran saya, duduklah di bagian paling depan perahu untuk bisa merasakan sensasi yang lebih menyenangkan. Jujur, pada awalnya saya agak meragukan keindahan lokasi wisata ini. Ketika mulai berangkat, warna air dan pemandangannya tidak terlihat menarik. Baru sekitar tengah perjalanan menuju hulu sungai, suasana mulai berubah. Ada beberapa titik yang diatur lalu lintas perahunya karena jalurnya tidak cukup untuk dilewati dua perahu sekaligus. Menarik, karena hal ini sudah diorganisir dengan baik untuk membuat perjalanan menjadi lebih efisien. Semakin ke dalam, warna air terlihat semakin hijau kebiruan. Pepohonan semakin rindang. Saya merasa seperti dibawa masuk ke suatu tempat yang terpencil. Sayang, suara mesin perahu lain yang berpapasan dari arah hulu membuyarkan lamunan saya. Banyak penumpang di perahu tersebut yang tersenyum memandang ke arah perahu kami. Cukup jelas untuk menggambarkan kepuasan mereka. Tidak sedikit pula yang melambaikan tangannya ke arah kami. Saya semakin penasaran akan kondisi di dalam. Dalam waktu kurang lebih dua puluh menit, kami pun tiba di lokasi Cukang Taneuh. Di parkiran perahu di dalam, sudah ramai perahu-perahu yang bersandar. Untuk bisa melihat-lihat, kami perlu lompat ke perahu lain untuk kemudian memanjat sedikit ke pijakan yang lebih tinggi. Untuk alasan keselamatan, setiap perahu sudah dilengkapi dengan sejumlah cukup life vest, oleh karena itu silahkan dipakai dari awal. Saya sarankan untuk tidak memakai sandal jepit karena akan menyulitkan dan bahkan membahayakan ketika harus memanjat. Lokasi untuk berpijak ini tidak luas dan hampir selalu ramai, jadi harap berhati-hati dan juga bersabar untuk bisa bergantian berdiri di area yang bisa mengambil foto pemandangan tanpa gangguan. Jika ingin mencoba melihat lebih dalam, kita bisa berenang berpegangan tali ke arah yang lebih hulu. Di dalam bisa mengambil gambar atau main lompat dari atas batu. Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, kami tidak mencobanya. Merasa sudah cukup mengambil gambar, kami pun kembali ke perahu. Saya kembali duduk di tempat paling depan. Seperti biasa, perjalanan pulang terasa lebih cepat. Di tengah perjalanan kembali ke hilir, ketika berpapasan dengan perahu yang sedang menuju ke Cukang Taneuh, tak lupa juga saya kembalikan senyum kepada para penumpang di dalamnya. Selesai mengunjungi Cukang Taneuh, kami kemudian mengunjungi Pantai Batu Hiu. Suasana mendung saat itu. Kami naik ke atas untuk melihat Pantai Batu Hiu. Menurut pemandu lokal kami, dinamakan demikian karena ada satu batu karang yang konon berbentuk seperti ikan hiu. Tapi karang tersebut sudah tergerus tak berbentuk akibat bencana tsunami yang melanda daerah tersebut beberapa tahun silam. Dari atas, terlihat hamparan pantai berpasir yang begitu luas dan panjang. Ombak di sini relatif berbahaya serta banyak batu karang besar tak jauh dari bibir pantai. Kalau mau main air, saran kami lebih baik di Sungai Citumang atau Cukang Taneuh saja. Hari yang cukup melelahkan. Namun, mohon jangan disamakan dengan lelahnya pulang kantoran ya. Karena hal yang menyenangkan dan tak terlupakan hari ini lebih banyak porsinya daripada hal yang melelahkan. Setibanya di penginapan, kami segera membersihkan diri, makan malam, dan beristirahat. Esok pagi kami hendak mengunjungi Cagar Alam Pananjung dan kemudian menjemput Edhy, rekan seperjalanan kami untuk perjalanan panjang ini, yang datang menyusul dari Bandung. Satu hari ini begitu berkesan. Ingat, masih ada empat puluh hari lagi, kawan.
|
Archives
July 2016
Categories
All
|