Setelah dari Taman Nasional Baluran, kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan Kawah Ijen. Sekitar tengah hari kami tiba di Arabica, homestay tempat kami menginap. Hanya ada sedikit pilihan tempat menginap bila hendak ke Kawah Ijen. Salah satunya adalah Arabica homestay. Arabica memiliki beberapa jenis kamar, mulai dari yang seperti asrama untuk backpacker hingga yang memiliki bathtub di kamar mandinya. Menurut informasi yang kami dapat dari resepsionis, hanya butuh waktu sekitar 20 menit dari penginapan ke gerbang pos masuk Kawah Ijen. Kami masih punya waktu cukup banyak saat itu. Jadi kami memutuskan untuk mengunjungi Jampit homestay yang katanya bagus. Perjalanan ke Jampit hanya sekitar tiga belas kilometer dari Arabica. Hanya saja, jalannya jelek bukan main. Butuh waktu satu jam untuk tiba di sana. Bayangkan, tiga belas kilometer per jam! Fiuhhhh… Untung Ko Agus yang menyetir mobil. hehehe.. Ada apa sih di Jampit? Jampit ini terkenal akan sebuah Villa dari jaman Belanda. Ketika kami tiba di sana, kami terkejut. Bukan karena bagus, tapi karena ternyata biasa saja. Dua jam perjalanan pulang pergi tidak sepadan rasanya. Kami kembali ke Arabica, melihat-lihat keadaan sekeliling, makan malam, kemudian istirahat sejenak. Ketika jam makan malam, semakin banyak mobil travel minibus tiba yang isinya kebanyakan turis mancanegara. Selepas beristirahat, kami terbangun lewat tengah malam dan kemudia bersiap-siap berangkat menuju Ijen. Sepanjang perjalanan dari penginapan, ada dua portal yang perlu dilewati dan harus mengisi buku tamu dengan sumbangan uang sukarela. Kira-kira pukul setengah empat subuh kami sudah tiba di parkiran gerbang masuk Kawah Ijen. Setelah tawar menawar dengan salah satu guide, kami pun mengurus administrasi di gerbang pos pendakian. Kemudian kami memulai pendakian. Jalur pendakian ke Ijen nyaman sekali. Kalau menanjak memang sudah pasti. Namanya juga mau naik ke puncak kan? Namun, jalur pendakian benar-benar rata tanpa ada bagian yang berbatu atau berpasir tebal. Jalur berbatu hanya ditemui bila hendak turun ke kawasan api biru (blue-fire). Perjalanan dari bawah hingga ke puncak memakan waktu sekitar dua jam. Kami pun tidak turun ke kawasan blue-fire. Kami memang hanya berencana untuk mengambil gambar dengan lensa tele dari puncak. Apa sih sebenarnya blue-fire? Seperti namanya, warna biru yang dihasilkan ini berasal dari belerang yang terbakar. Blue-fire ini hanya bisa dilihat ketika malam hari loh. Siang juga tetap ada api, tapi tidak kelihatan dan biasanya ketutupan oleh asap belerang. Kalau mau turun melihat api biru dari dekat, harus turun dari puncak dan memakan waktu sekitar 1 jam pulang pergi untuk pendaki pemula dan setengah jam untuk yang sudah biasa. Lalu kenapa blue-fire ini sangat menarik, khususnya untuk turis mancanegara? Apakah ada yang bisa menebak? Jawabannya adalah unik dan sulit ditemukan di tempat lain. Coba saja teman-teman google blue-fire. Yang muncul pasti Kawah Ijen. Banyak yang bilang bahwa blue-fire juga bisa ditemukan di Islandia, tetapi kurang meyakinkan karena hampir tidak ada foto atau informasi yang valid mengenai hal ini. Setelah mengambil gambar dari atas, kami pun berjalan sedikit lagi ke spot panorama matahari terbit. Belum banyak yang tiba di sini karena kebanyakan pengunjung turun ke blue-fire. Berada di bagian puncak Kawah Ijen berarti siap-siap melawan angin kencang. Angin berhembus sesukanya karena tidak ada pepohonan yang membendung. Beruntung guide kami menyalakan api unggun untuk menghangatkan badan. Para pengunjung lain yang baru tiba pun ikut mendekat ke arah api unggun. Pukul enam kurang sepuluh, matahari mulai muncul. Sayang posisi matahari tertutup oleh bukit. Posisi matahari terbit juga membelakangi Kawah Ijen. Namun itu sama sekali tidak mengurangi keindahan yang ditawarkan Kawah Ijen. Langit cerah sekali saat itu. Warna cakrawala pun begitu indah. Sedikit demi sedikit cahaya matahari pun memperjelas warna Kawah Ijen yang memukau. Perjalanan ke Kawah Ijen sangat spesial bagi saya pribadi. Alamnya yang luar biasa indah bertolak belakang dengan kondisi para penambang belerangnya. Setiap harinya mereka harus memanggul puluhan kilo belerang dengan medan ke blue-fire yang berbatu tadi. Penambang pemula biasanya mulai dengan beban sekitar 50-60 kg. Yang sudah lebih berpengalaman biasanya sanggup memanggul di atas 80 kg. Yang lebih luar biasanya lagi, mereka biasanya melakukan penambangan belerang selama dua kali dalam sehari. Saya yang naik dan turun tanpa membawa beban saja rasanya sudah luar biasa capek. Saya tidak bisa membayangkan usaha mereka. Hal ini mereka lakukan demi menyambung hidup mereka sehari-hari. Saat itu per kilonya, belerang hanya diberi harga Rp. 800 (delapan ratus rupiah) loh. Di Ijen ini, saya semakin bersyukur. Bukan hanya bersyukur akan keindahan alam yang Tuhan ciptakan, tetapi juga atas apa yang sudah Tuhan berikan dalam hidup saya. Dengan tulisan ini, Kawah Ijen resmi jadi kawasan wisata paling favorit untuk saya di tanah Jawa. (NE)
|
Archives
July 2016
Categories
All
|