Waktu menunjukkan pukul 4 subuh ketika alarm membangunkan kami. Kami berlima (saya, Ko Agus, Edi, Marius, & Nadine) harus bergegas karena pukul 4.30 kami sudah harus masuk ke Borobudur melalui sebuah hotel. Kenyataan yang sedikit menyakitkan adalah, sebagai orang biasa, tidak ada cara lain untuk bisa masuk ke kawasan Candi Borobudur selain dari pada hotel ini. Harganya pun cukup menguras kantong. Lalu, saran dari kami, datanglah satu hari sebelumnya dan melakukan pembelian tiket untuk keesokan harinya. Hal ini dikarenakan peserta yang dapat melihat matahari terbit dari Candi Borobudur dibatasi setiap harinya. Ini bukan yang pertama kali buatku ke Borobudur. Tapi, menanti matahari terbit dari atas Candi Borobudur, menjadi pengalaman pertamaku. Dari rombongan yang berangkat, jelas terlihat bahwa turis domestik tidak terlalu berminat ikut program ini karena kebanyakan pesertanya adalah turis mancanegara. Entah karena sulit bangun, atau karena memang mahal, saya tidak berani menduga-duga... Menurut saya, ada beberapa keuntungan ikut dalam rombongan sunrise ini. Yang pertama, bisa melihat sisi lain candi ketika suasana masih gelap dan hanya diterangi oleh lampu sorot. Yang kedua, belum ramai sehingga jauh lebih leluasa untuk melakukan pemotretan. Yang ketiga, tidak terlalu capek karena matahari belum muncul ketika kita menaiki tangga candi. Kalau ditanya, apa ruginya? Ya cuma satu. MAHAL. hehe…. Sayangnya, cuaca kurang bersahabat pagi itu. Lembayung fajar memang merekah. Namun, awan menutupi cakrawala sehingga tidak bisa melihat matahari terbit dengan sempurna. Inilah hasil dari pertaruhan antara biaya masuk tinggi dengan cuaca yang tidak pernah bisa ditebak secara pasti. Namun, sedikit penghiburan bagi kami adalah cahaya pagi yang lembut tetap menarik untuk bisa diabadikan oleh kamera. Setelah Borobudur, kami bergegas ke Keraton Yogyakarta. Namun sebelum itu, ada yang kurang rasanya bila belum menyantap kuliner khas Jogja seperti Gudeg. Jadi, kami berlima menikmati Gudeg Jogja sebelum mengunjungi Keraton. Kebetulan lokasi rumah makan Gudeg ini dekat dengan lokasi Keraton. Marius dan Nadine terlihat begitu menikmati Gudeg ini. Sama seperti kami, tidak ada sisa sedikit pun di piring makan mereka. Singkat cerita kami masuk ke Keraton, berkeliling ke museum di dalamnya dan - tentu- berfoto ria. Oh ya, jIka mengunjungi Keraton, tiketnya juga bisa digunakan untuk mengunjungi galeri seni yang ada tidak jauh dari Keraton. Usahakan untuk tidak datang terlalu sore sebelum galeri tutup. Di galeri tersebut kita bisa melihat proses membatik dengan canting. Atau kalau kurang beruntung karena tidak ada yang membatik, paling tidak kita bisa berpose membatik seperti Nadine di bawah ini. Setelah itu, kami mengantar Marius dan Nadine ke penginapan mereka di daerah Malioboro dan kemudian berpisah dengan mereka. Esok hari, mereka sudah harus melanjutkan perjalanan menuju Bromo. Kami pun mempunyai agenda sendiri untuk besok. Gambar di bawah ini kami persembahkan untuk mereka. Senang bisa menjalin persahabatan dengan mereka dalam perjalanan ini. Keesokan subuhnya, kami kembali memburu matahari terbit dari sebuah bukit dengan Borobudur sebagai objek utamanya. Punthuk Setumbu nama tempatnya. Perjalanan ke Punthuk Setumbu minim papan penunjuk. Kami berterima kasih pada google map yang kali ini mampu mengantar kami hingga ke parkiran Punthuk Setumbu dengan selamat. Punthuk Setumbu merupakan salah satu primadona bagi para fotografer. Tempat murah, mudah dijangkau, dan panorama yang indah sudah menjadi alasan yang lebih dari cukup bagi mereka untuk datang berbondong-bondong ke sini. Ketika kami tiba di lokasi, masing-masing orang sudah berdiri di sepanjang pagar di teritorialnya masing-masing. Kami sampai bingung harus mengambil gambar dari mana. Beruntung masih ada sedikit celah untuk menyempil sehingga kami bisa mengabadikan panorama ini. Borobudur tampak sebagai siluet di kejauhan. Ia tampak ditemani dengan banyak pepohonan di sekitarnya. Kabut pagi lah yang menjadi pemisah di antara mereka, menghasilkan garis-garis siluet yang mistis dan eksotis. Sayang matahari terbit malu-malu. Matahari menutup dirinya dengan awan hingga nampak kurang jelas pagi itu. Sudah dua pagi berturut-turut kami lewati dengan bangun dini hari demi memotret matahari terbit. Dua pagi ini pula kami belum direstui bertemu dengannya. Ah, Yogyakarta. Dirimu begitu mengerti cara membuat kami penasaran untuk kembali. (NE)
|
Archives
July 2016
Categories
All
|